Pengaruh Pembentuk Karakter Anak terhadap Perilaku Perundungan - SMP Edu Global Bandung - Sekolah Bilingual dan Nasional Plus

Welcome to

SMP Edu Global Bandung

Smart | Righteous | Talented

Pengaruh Pembentuk Karakter Anak terhadap Perilaku Perundungan

Pembuka

        Bulan Februari 2024 di Indramayu, seorang siswa berinisial HA yang duduk di bangku SD kelas 5 mengalami perundungan, ia ditelanjangi dan ditendang oleh teman sebayanya. Dilansir dari CNN Indonesia, guru korban dan pelaku mengaku bahwa sebelum terjadi perundungan, korban sempat mengejek pelaku yang kemudian tersinggung dan merundung.

        School bullying atau perundungan di sekolah adalah sebuah pembahasan yang tidak pernah tuntas. Aksi ini dicirikan sebagai tindakan agresif berulang yang ditujukan untuk mengintimidasi/ menyakiti korban. Perundungan dalam sekolah merupakan salah satu dari tiga dosa besar pendidikan di Indonesia selain intoleransi dan kekerasan seksual. 

        Perundungan tidak hanya mengakibatkan luka secara fisik, namun juga secara psikis. Luka psikis yang kasat mata dapat membuat korban menjadi pelaku di kemudian hari, sehingga perundungan menjadi sebuah peristiwa yang berulang dan meningkat. Yulrina Ardhiyanti (2024) mengatakan terdapat 226 kasus perundungan pada tahun 2022, lebih banyak dibandingkan tahun 2021 maupun 2020 yang memiliki kasus tercatat sebanyak 53 serta 119 kasus. Data ini bersumber dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Perundungan yang sering dialami korban berupa perundungan fisik (55.5%), perundungan verbal (29.3%), dan perundungan psikologis (15.2%). U-Report UNICEF (2020) mencatat 45% dari 2.777 anak muda berusia 14-24 tahun di Indonesia pernah mengalami perundungan lewat media daring.

           Pemberantasan kasus perundungan harus memperhatikan tak hanya dampak yang dialami korban atau pun alasan pelaku, namun juga faktor pembentukan karakter yang dimulai dari keluarga hingga faktor psikologis yang memengaruhi korban maupun pelaku dalam bertindak.



Isi

Lingkungan Keluarga

        Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembentukan karakter seorang anak dimulai sedari masih masa pengawasan orangtua, Ardhiyanti, Y. (2024) dan Paramesti dkk (2024) menyatakan bahwa keluarga merupakan kawasan dimana anak pertama kali belajar mencontoh, lebih tepatnya mencontoh orangtua. Hasil penelitian Nurul Isnaeni Rahmat, Intan Dwi Hastuti, dan Muhammad Nizaar terhadap faktor-faktor perundungan di Madrasah Ibtidaiyah NW Batok Tiu (2023), menyebutkan bahwa faktor lingkungan keluarga siswa menjadi salah satu faktor terbesar yang memengaruhi perilaku siswa sebanyak 30%.  Lingkungan keluarga ini meliputi dinamika keluarga, pola asuh, dan nilai yang diterapkan.


Dinamika Keluarga;

        Dinamika keluarga adalah interaksi/ hubungan antar satu individu dengan individu lain dalam lingkup keluarga. Dinamika yang patut diperhatikan bukan hanya interaksi antara orangtua dengan sang anak. Interaksi antara ayah dengan ibu, antara saudara dengan saudara yang lain, atau antara orang tua dengan saudaranya sang anak juga perlu diperhatikan. Jika keharmonisan suatu keluarga bermasalah, sang anak dapat meniru perilaku yang ditunjukan selama anggota keluarga yang lain berkonflik di hadapannya kepada teman sebayanya dan bisa memicu sebuah perundungan (Zakiyah dkk dan Bahri dkk dalam Ardhiyanti, Y. (2024)). 


Pola Asuh;

        Setiap keluarga memiliki pola asuh masing-masing, namun pola asuh yang tidak cocok dengan sang anak dapat menumbuhkan perilaku tidak sepantasnya dalam diri seorang anak. Pola asuh  keluarga berpengaruh pada cara seorang anak berkomunikasi, berperilaku, dan memperlakukan orang lain. Utami, A. N. dalam jurnal Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab (2019) mengutip bahwasanya terdapat dua pola asuh yang dapat memengaruhi perilaku sang anak, yaitu pola asuh otoriter dan pola asuh permisif.

        Pola asuh otoriter adalah pola asuh dimana sang anak tidak diberikan ruang untuk membantah apapun yang diperintahkan oleh orang tua. Sedangkan pola asuh permisif adalah pola asuh yang membebaskan sang anak tanpa adanya batasan (Sufia & Sari dalam Utami, A. N. (2019)). Kedua pola asuh ini dapat mengakibatkan antara dua hal, yaitu bibit perundung atau menumbuhkan rasa kepercayaan diri yang rendah dan dapat memicu mudahnya sang anak menjadi korban perundungan (Maria dalam Utami, A. N. (2019)). 


Teman Sebaya

        Selain dari lingkup keluarga, teman sebaya juga berpengaruh cukup besar terhadap perilaku perundungan. Zakiyah dkk, Bahri dkk, dan Utami dalam Ardhiyanti, Y. (2024) menyatakan bahwasanya atas dasar ingin diterima dalam suatu lingkup pertemanan tertentu, seorang anak bisa menyetujui hasutan dari teman sebayanya untuk melakukan tindak kekerasaan baik lewat fisik maupun verbal terhadap orang lain walau mungkin ia sendiri tidak nyaman dengan tindakannya. Kusuma, M. P. dalam jurnal Utami, A. N. (2019) menyatakan bahwasanya seorang anak cenderung mengikuti perilaku teman sebayanya. Akhirnya, karena sang anak yang bertemu dengan teman sebaya sehari-hari, munculah pengulangan tindakan yang mengarah kepada perundungan (Suhendar dalam Ardhiyanti, Y. (2024)). 


Lingkungan Sekolah

        Penting bagi kita meningkatkan kualitas sekolah. Lingkungan sekolah yang cenderung abai dengan perilaku siswa akan menimbulkan kebebasan berperilaku yang berlebihan. Pelaku perundungan akan terus mengulang perbuatannya karena merasa bebas, sedangkan korban tidak mendapatkan perlindungan yang seharusnya (Sufiani & Sari dalam Utami, A. N. (2019)). Pelaku juga tidak akan mendapatkan rasa jera karena tidak merasakan dengan jelas apa konsekuensi dari perbuatannya.

Dalam lingkungan sekolah yang seperti ini, angka kasus perundungan akan meningkat secara pesat (Paramesti dkk (2024)). 


Media Massa

        Faktor eksternal lain yang dapat memengaruhi perilaku perundungan adalah media massa. Ketika seorang anak yang belum memiliki kemampuan untuk menyaring informasi dengan baik disuapi dengan tayangan kekerasan, seperti dalam gim atau acara tinju, sang anak dapat memakmulumi hal tersebut dan mempraktikkannya kepada individu lain (Utami dalam Ardhiyanti, Y. (2024)). 


Lingkungan Sosial

        Kondisi sosial juga bisa memengaruhi sikap perundungan. Contohnya karena kemiskinan, seorang anak terdorong untuk memalak anak lain (Zakiyah dkk dalam Ardhiyanti, Y. (2024)). Lalu, ketika seorang anak belum memiliki kemampuan menyaring mana yang baik dan buruk melihat anak di sekitarnya melakukan kekerasan dan perbuatan tidak pantas lainnnya, sang anak dapat terdorong melakukan hal yang sama atas dasar rasa keakraban (Haslan dkk dalam Ardhiyanti, Y. (2024)). 


Faktor Psikologis

      Faktor psikologis juga perlu menjadi perhatian. Biasanya seorang perundung cenderung mempunyai ketidakstabilan emosi dan kepercayaan diri yang rendah (Wahani et al. dalam Paramesti dkk (2024)) Karena merasa rendah diri dan tidak ingin terlihat lemah, akhirnya ia terpicu untuk terlihat superior melalui perundungan. Ia akan merasa bahwa ditakuti karena menjadi pelaku perundungan adalah hal yang keren dan sudah sepantasnya (Theodore dan Sudarji dalam Ardhiyanti, Y. (2024)). 


Penutup/Simpulan

        Hal-hal di atas merupakan faktor-faktor yang dapat membentuk karakter dalam diri seorang anak yang diambil dari beberapa jurnal serta penelitian. Memerhatikan perilaku anak sangat penting, ketidakstabilan emosi di usia dini membuat seorang anak rentan menjadi perundung. Lingkungan keluarga hingga lingkungan sekitar dapat membentuk karakter seorang anak secara signifikan dalam menanggapi hal-hal di sekitarnya.

        Diharapkan semua lingkungan anak dapat berkontribusi dalam pengembangan karakter anak agar menghindari berkembangnya perilaku perundungan.



-----
Author: Kafa Bilislami Dina kelas IX A
Please write your comments

Join EGS to become a great future leader. Now!